Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi DKI Jakarta :
Jelajah Literasi
Asa Menggaungkan Literasi Pulau Rempah
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Maluku:
Asa Menggaungkan Literasi Pulau Rempah
Menggaungkan literasi di daerah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dinas Perpustakaan dan Arsip Provinsi Maluku dituntut menghidupkan literasi. Sementara tantangan utama literasi di daerah itu adalah anggaran yang minim karena kemampuan fiskal yang rendah. Selanjutnya, komitmen kuat Gubernur, Kepala Bappeda, dan Kepala Dinas Perpustakaan dibutuhkan untuk mewujudkannya, terutama komitmen untuk mengalokasikan anggaran secara tepat sasaran.
Berita Literasi
Jadi Aktor Literasi Nasional, Guru dan Dosen Butuh Pendampingan PENDIDIKAN
JawaPos.com – Gerakan literasi nasional terus digalakkan. Di antara potensi besar untuk mengembangkan literasi nasional adalah profesi guru dan dosen. Lenang Manggala selaku pendiri Lenang Manggala Foundation mengatakan, sebagai aktor literasi nasional para guru dan dosen tetap membutuhkan pendampingan dan fasilitas.
’’Para pendidik adalah pemegang kunci masa depan,’’ katanya di Jakarta, Sabtu (24/4).
Untuk bisa berkontribusi dalam pengembangan literasi nasional, para guru dan dosen membutuhkan pendampingan dan fasilitas yang tepat. Sebab tidak bisa sekadar bertumpu pada aturan dan instruksi saja.
Lenang menjelaskan mereka berupaya memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan budaya literasi di tanah air. Sekaligus turut meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. Di antaranya adalah melalui program Gerakan Menulis Buku Indonesia yang menyasar seribu orang pendidik di 34 provinsi.
’’Kita mesti benar-benar berupaya keras untuk mendukung peningkatan kompetensi, kebahagiaan, dan kesejahteraan hidup (pendidik, Red),’’ jelasnya.
Lenang percaya hanya pendidik berkarya yang bisa mendorong bangsa ini menjadi bangsa pengkarya. Bangsa yang mampu menciptakan perubahan untuk dunia.
Lenag menuturkan melalui program bantuan pengembangan literasi pendidik (Banpelip) periode 2021-2024, upaya pendampingan guru dan dosen bisa berjalan baik. ’’Para guru dan dosen kita sebenarnya punya potensi dan gairah untuk mengembangkan literasi,’’ katanya. Hanya saja mereka membutuhkan pendampingan dan fasilitasi yang maksimal.
Wujud pendampingannya adalah menjadikan pendidik sebagai mitra. Kemudian didampingi untuk publikasi buku atau karya mereka dalam tiga tahun ke depan. Selain itu pendampingan pembuatan website literasi. Lenang berharap dengan sejumlah kegiatan pelatihan dan sertifikasi, guru dan dosen lebih semangat dan bergairah untuk menerbitkan buku atau karya literasi.
Berita Literasi
Literasi Bermedia, Tantangan Warga Digital
Kemampuan membaca, memahami, dan memilah informasi semakin penting di tengah kelindan banjir informasi saat ini. Konten berita bisa menjadi salah satu sumber kredibel untuk melengkapi literasi digital bagi masyarakat. Sayangnya, publik masih enggan mengakses jenis informasi ini.Konsumsi berita di internet perlu diperkuat sebagai aspek penting peningkatan literasi digital warga. Saat ini, kebingungan atas benar dan salah sebuah berita peristiwa masih menghinggapi masyarakat akibat banyaknya hoaks.
Hasil Survei tatap muka nasional Kompas pada April 2021 lalu merekam gambaran konsumsi bermedia digital masyarakat Indonesia yang belum mencerminkan melek literasi.
Dari survei ini ditemukan bahwa separuh lebih (54,3 persen) masyarakat sudah merasa cukup dengan apa yang disediakan oleh internet. Kelompok ini menyatakan telah menemukan informasi yang dibutuhkan dan diinginkan di internet. Sementara itu, ada 24 persen yang mengatakan tidak selalu mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
Namun, jika ditelusuri, rasa cukup informasi oleh masyarakat itu ternyata semu. Mayoritas publik masih mengakses informasi bukan dari sumber berita yang lebih tepercaya dan dalam proporsi yang minim pula. Ada sejumlah alasan terhadap kesimpulan ini.
Pertama, hasil survei merekam sudah ada 65,7 persen publik responden yang secara berkala mengakses situs berita online. Sayangnya, mayoritas durasi dalam mengakses berita masih di level yang rendah baik dari skala mingguan dan harian.
Tercatat hanya satu dari sepuluh responden yang selalu membuka situs berita online setiap harinya. Sementara itu, 12,7 persen mengakses 3-6 kali dalam seminggu. Mayoritas dari proporsi pengakses berita, yakni 41,9 persen, hanya mengakses situs berita 1-2 kali dalam seminggu.
Dari skala durasi waktu, sebagian besar mengonsumsi berita dalam kategori rendah. Dihitung dari total pengakses berita, hanya 4,6 persen responden yang menikmati berita di situs berita online lebih dari 60 menit. Dalam proporsi yang makin besar, sejumlah 12,3 persen mengakses berita selama 31-60 menit dan 83,1 persen menikmati berita tidak lebih dari 30 menit per hari.
Dengan gambaran itu bisa disimpulkan relatif masih minimnya informasi kredibel yang diakses oleh publik (netizen).
Penikmat situs berita online dengan kategori konsumsi sedang ke tinggi didominasi masyarakat kategori usia dewasa (17-40 tahun). Sementara dari kelompok masyarakat senior (usia 41-60 tahun), tak lebih dari 20 persen yang masuk kategori ini.
Warga senior menyumbang proporsi paling banyak pada kelompok yang sama sekali tidak pernah mengakses berita di situs berita online. Artinya, kelompok ini rentan dengan kabar-kabar bohong.
Latar belakang pendidikan turut menjadi variabel yang memengaruhi karakter bermedia masyarakat. Semakin tinggi pendidikan, semakin sering pula mengakses berita dari situs berita online.
Risiko rentan terhadap paparan informasi yang tak berkualitas bisa dilihat pula dari kandungan hoaks di sebuah informasi. Hasil survei dari Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi pada 2019 menunjukkan hampir seluruh responden (95,8 persen) mengaku pernah menjumpai hoaks. Sayangnya, 54,4 persen dari kelompok tersebut mengaku bingung membedakan konten hoaks dan fakta, padahal survei ini dilakukan pada responden yang mayoritas terpelajar berusia 15-45 tahun.
Berita Literasi
Allister Chang: Why DC students continue to struggle with literacy
As new federal money comes to DC to reverse pandemic-related learning losses and to improve literacy outcomes, the District has a unique opportunity to fix a structural problem that has plagued us for decades: insufficient teacher training to support student literacy.
Past attempts to improve literacy in DC have failed, even as struggling education systems in other parts of the country have seen a turnaround in this regard. The difference? Investment in professional development for teachers.
From 2009‐2013, DC was last in state rankings for fourth grade reading outcomes. The District developed a Statewide Literacy Plan in 2013, but we did not come close to achieving the plan’s five-year goal of “at least 75% proficiency.” In 2019, only 30% of fourth grade students in DC performed at or above the proficient level on the National Assessment of Educational Progress exam in reading, putting us at 47th in state rankings.
During the same 10 years, Mississippi leapfrogged from 47th to 30th in state rankings. One consequential explanation involves teacher training in structured literacy instruction. This teaching approach prepares students to decode words in an explicit and systematic manner, including instruction on phonology, sound-symbol association, syllable instruction, morphology, syntax and semantics.
In 2014, the Mississippi Department of Education began offering state-funded investment in teacher development. Alabama, Ohio and North Carolina have also recently expanded funding for professional learning activities so teachers can improve how they teach reading. Massachusetts — consistently ranked at the top of state rankings — offers reading teachers continuing professional development opportunities, including individualized coaching.
I worked with my colleagues on the DC State Board of Education to convene a panel on literacy during our April 21 public meeting. During this meeting, representatives from Alabama, Mississippi and Tennessee discussed how they have been offering teachers structured literacy training and the tremendous results this has generated for students.
At least 20 states have passed or are considering measures related to teacher preparation around the science of reading and structured literacy. Unfortunately, DC is not among them.
We will continue to lag at the bottom of state rankings for literacy outcomes if teachers do not have access to professional development opportunities to improve how they teach reading. A recent study by the National Council on Teacher Quality describes DC as “inadequate” in preparing teachers to teach reading. Here, it’s neither a requirement nor the norm for teachers to learn “effective reading instruction.”
It’s not that DC has hired bad teachers. We don’t even know how many of our teachers have had structured literacy training.
What we do know is that our teachers want professional development that will help their students succeed. In a recent survey conducted by Decoding Dyslexia DC, 93% of teachers surveyed agreed that they would benefit from additional training related to the foundations of reading. Loud and clear, our teachers want to learn how to better support their students’ literacy education. Existing structured literacy programs for teachers that operate locally, such as the DC Reading Clinic and URBAN Teachers, have waitlists to enroll.
DC’s Office of the State Superintendent of Education is currently developing a new literacy plan, which will include how to spend $16 million in federal funds to improve literacy outcomes. The 2013 literacy plan was not successful in reaching its goals. The 2021 plan offers a new opportunity. We should learn from our mistakes, adapt promising practices from other states, and invest in our schools’ greatest assets: teachers.
Allister Chang is the Ward 2 member on the DC State Board of Education and a member of the advisory board for the Library of Congress Literacy Awards.