Perkembangan teknologi melaju sangat cepat, dengan adanya perubahan perkembangan itulah semua orang mulai merasakan baik dampak negatif maupun dampak positif. Kini informasi dapat kita dapatkan dengan mudah, dengan mengakses media sosial. Mungkin bukan hanya persoalan informasi, namun sekarang ini kita bisa mendapatkan apa yang kita inginkan hanya dengan menggunakan jari melalui smartphone yang kita miliki, misalkan berbelanja, membeli makanan tanpa harus datang ke toko maupun ke kafe. Karena semuanya bisa di akses melalui aplikasi online.

Menurut sepengetahuan saya mengenai literasi media berdasarkan melihat informasi di internet. Media sosial sendiri merupakan wadah bagi teknologi digital yang memungkinkan orang berhubungan, berinteraksi, memproduksi, dan berbagi isi pesan secara online. Kapan saja dan dimana saja kita sekarang berada, kini kita bisa dengan mudah mengakses informasi secara cepat. Namun terkadang informasi yang kita dapatkan belum tentu semua benar, banyak orang tidak bertanggung jawab yang memanfaatkan teknologi untuk menyebarkan berita palsu (hoax). Mereka memiliki tujuan sendiri dalam menyebarkan berita palsu tersebut, salah satunya untuk melakukan provokasi pribadi maupun massa.

Faktor yang mempengaruhi hal tersebut adalah, minimnya pengetahuan masyarakat mengenai penggunaan teknologi secara baik dan benar. Dengan beranggapan bahwa semua orang bisa menggunakan media dengan bebas, maka mereka membuat opini dan menyebarkan kepada publik tanpa ada validasi. Opini itulah  yang akhirnya dilihat oleh banyak orang dan menyebar sebagai berita palsu (hoax). Membentuk literasi media bukan hanya bagi kalangan masyarakat saja, namun pemerintah juga harus sigap dan tanggap untuk memperhatikan adanya informasi palsu. Karena berita tersebut tidak hanya berkembang dikalangan masyarakat, tetapi sudah menjadi isu global. Hal tersebut mampu membuat perselisihan anatar kelompok tertentu bahkan bisa sampai antar negara, untuk menyikapi hal tersebut ada baiknya kita paham tentang literasi media.

Pakar teknologi informasi dan komunikasi sebelumnyapun tidak pernah mengira bahwa perkembangan teknologi dan persebaran media menyebabkan hal yang sangat serius, bahkan kini telah menjadi salah satu isu global. Karena pada hakikatnya mereka menciptakan media sosial atau media-media baru tersebut untuk mempermudah menyampaikan suatu informasi dan berita yang sedang terjadi di seluruh dunia saat itu, namun nyatanya berita-berita maupun informasi tersebut bisa berubah baik data maupun isinya oleh berbagai macam pihak yang tidak bertanggug jawab. Mereka membuat informasi tersebut seolah nyata dan asli agar masyarakat mempercayai hal tersebut. Menurut National Leadership Conference on Media Education (Aufderheide, 1992) literasi media secara keseluruhan sungguh penting. Digunakan sebagai kemampuan untuk mengakses, mengevaluasi maupun mengkomunikasikan informansi dengan berbagai bentuk. Saat ini di Indonesia sendiri, terdapat regulasi yang membahas tentang literasi media yaitu dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2003 tentang Penyiaran, dalam Pasal 52 yang memaknai literasi media sebagai “kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan sikap kritis masyarakat” (Iriantara, 2009: 25). Tujuan literasi media sebenarnya untuk memberikan kita kontrol yang lebih besar atas interpretasi terhadap muatan pesan media yang merupakan hasil dari suatu konstruksi kepentingan. Jika kita mengerti arti makna literasi media dengan benar, kita bisa saja tidak sepenuhnya tidak terkecoh berita yang beredar di media.

Semakin kita memahami, maka semakin mudah untuk menganalisa tentang isi dari berita yang beredar. Tetapi pada kenyataannya masih banyak diantara kita yang masih percaya dengan banyak berita hoax. Pengetahuan yang kurang akan literasi media sangat mempengaruhi manusia percaya akan berita palsu, selain itu rendahnya pendidikan dan wawasan juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi hal-hal tersebut. Bagi mereka masyarakat dengan latar pendidikan dan pemahaman yang cukup tentang media memungkinkan untuk memudahkan mereka menyaring informasi yang layak mereka konsumsi. Sedangkan mereka dengan latar pendidikan yang minim, agak sulit membedakan konten-konten yang benar maupun informasi yang positif. Dan disinilah peran literasi media seharusnya muncul, yaitu untuk memberikan edukasi kepada masyarakat yang rentan memakan mentah-mentah informasi palsu.

Perlunya kesadaran dalam diri sendiri agar kita tidak terpengaruh dengan berita-berita tersebut, kita bisa membandingkan berita di satu media dengan media lain agar kita mempunyai data-data yang kuat sehingga kita tidak terpengaruh dengan berita palsu. Masifnya peredaran informasi palsu atau hoax ini melalui media sosial hendaknya menyadarkan para pengelola media sektor utama untuk bekerja lebih profesional dengan standar jurnalistik tinggi. Masyarakat membutuhkan rujukan informasi yang terpercaya dan pada sisi itu media massa dapat menjawabnya melalui suguhan informasi yang terverifikasi. Media massa harus memperjelas fungsinya sebagai penyedia fakta akurat dan jelas.

Untuk mencegah penyebaran berita palsu secara cepat, masyarakat perlu membangun budaya literasi media sosial dengan baik. Hal itu banyak disampaikan oleh banyak masyarakat yang peduli terhadap literasi media massa di Indonesia. Budaya literasi media bisa dibangun dengan cara membiasakan diri melakukan cross check informasi terlebih dahulu sebelum disebarluaskan ke pengguna internet atau biasa disebut netizen.

Menurut saya, orang harus memperhatikan etika, harus saring sebelum sharing. Jadi, orang tidak asal. Ketahuilah apa yang  akan disampaikan, jangan sampai tidak mengetahuinya. Biasanya penyebaran berita palsu maupun ujaran kebencian atau hate speech merupakan dampak dari perkembangan informasi yang sangat pesat selama beberapa tahun terakhir. Perkembangan informasi bisa menyebabkan munculnya ruang publik baru yang disebut dunia maya. Ruang public dunia mayaini berbeda dengan dunia nyata, karena orang tak lagi perlu berinteraksi secara face to face  atau interaksi secara langsung, tetapi masih bisa mengekspresikan pikiran dan perasaan. Munculnya berbagai macam ruang publik baru memberi dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya, media sosial dapat dimanfaatkan untuk membangun koneksi dan menyebarkan gagasan-gagasan yang benar istilahnya positive vibes. Dampak negatifnya, penyebaran berita palsu dan ujaran kebencian tak terkendali serta tak beraturan yang berpotensi memicu gangguan terhadap ketertiban publik.

Dalam pengamatan saya, penyebaran berita palsu maupun ujaran kebencian disebabkan tiga faktor. Pertama, perkembangan teknologi memberikan netizen lain untuk menambahkan atau mengedit teks yang telah dipublikasikan netizen sebelumnya. Kedua, tingginya jumlah pengguna internet. Bahkan pada tahun 2016 mencapai 132,7 juta orang di Indonesia telah terhubung ke internet. Bisa dibayangkan berapa banyak sekarang pegguna internet di tahun 2021 sekarang.

Ketiga, tingkat interaksi yang tinggi antarpengguna. Hal yang terjadi pada media massa mainstream tidak bisa umpan balik secara langsung. Ruang pertikaian itu tidak terlalu ada. Ruang publik baru atau dunia maya atau media sosial mempengaruhi tingkat interaksi yang tinggi. Perlunya sejumlah kelompok masyarakat yang tengah gencar mendeklarasikan gerakan anti hoax serta adanya dukungan oleh pejabat pemerintahan dan legislatif. Menurut opini saya, dalam jangka pendek membentuk gerakan-gerakan seperti itu sah-sah saja. Yang terpenting, harus menekankan kepada  masyarakat bersama untuk membangun budaya literasi media. Yang harus jadi sorotan adalah, kehadiran Undang-Undang no. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik jangan dijadikan penghambat atau kendala bagi masyarakat untuk meluapkan kebebasan berekspresi.

Pada era sekarang ini semua orang adalah wartawan atau jurnalis masyarakat umum.  Semua bisa mencari, menerima, mengolah, dan menyebarkan berita yang telah di dapat. Perhatian utama wartawan terleteak pada etika. Beberapa tanda kemampuan literasi media yang tinggi sebagai berikut:

1. Menerima maupun memaknai pesan secara kritis.

2. Dapat mencari dan memverifikasi pesan dengan baik.

3. Mempunyai analisis pesan kedalam sebuah diskursus.

4. Paham logika penciptaan realitas yang dibentuk oleh media.

5. Bisa mengkonstruksi pesan positif dan mampu mendistribusikannya ke pihak lain.

Untuk tidak terbawa arus berita hoax yang ramai sekarang ini, perlunya menerima berita tidak langsung dicerna mentah-mentah atau menyimpulkan sendiri. Tetapi melalui model Empowering 8 (E8), kemampuan melakukan literasi informasi terhadap penelusuran suatu berita hoax dilakukan melalui 8 tahapan praktik melalui langkah-langkah sebagai berikut:

1. Memverifikasi subjek, sasaran audiens yang dituju, serta menggunakan sumber-sumber yag relevan.

2. Mendapat sumber serta informasi yang sesuai dengan topik.

3. Dapat mengetahui informasi serta data-data yang relevan.

4. Melihat informasi serta data-data tersebut sebagai susunan yang logis. Dapat membedakan antara fakta maupun opini.

5. Membuat informasi menggunakan kata-kata sendiri, dan membuat daftar pustaka.

6. Informasi yang ditampilkan mampu menunjukan perbandingan dari kedua kelompok sehingga dinilai keakuratannya.

7. Penjelasan berupa masukan dan masukan orang lain.

8. Informasi yang bisa digunakan untuk kegiatan yang akan datang.

Literasi media sering diartikan sebagai ‘melek media’. Terkadang cara semacam ini dilihat dapat menyerderhanakan arti dari literasi media sendiri. Karena ketika di gabungkan dengan melek huruf maka literasi media diartikan sebagai ‘sekedar’ tidak buta akan media. Perkembangan media yang sangat cepat seharusnya dibarengi dengan berkembangnya gerakan literasi media yang komprehensif. Agar masyarakat menggunakan media massa sebagai kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Melalui literasi media, diharapkan masyarakat dapat membedakan informasi yang bermanfaat dan yang menyebabkan kerugian bagi kehidupan lainnya.

Bisa ditarik kesimpulan, dengan adanya literasi media diharapkan masyarakat dapat menilai informasi-informasi yang ada, dengan membandingkan dengan sumber-sumber lain yang kemungkinan memiliki akurasi kebenaran yang tinggi. Dan melalui model literasi media seperti itu, diharapkan masyarakat mampu memilih dan memilah informasi dari berbagai belahan dunia.

Penyebaran informasi dan berita palsu membuat problema yang cukup serius, bukan hanya menjadi persoalan nasional bahkan sudah menjadi permasalahan duniawi. Perkembangan media yang sangat cepat membuat semua orang mampu menguasai perubahan zaman yang ada. Ada yang memanfaatkan perkembangan tersebut sebagai suatu hal yang positif dan ada juga yang memanfaatkan perkembangan media sebagai sesuatu yang negatif.

https://www.kompasiana.com/muhammad28304/60d0e4e406310e221934b176/mengurangi-penyebaran-berita-palsu-untuk-literasi-media-yang-baik?page=3


0 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *