Merdeka.com – Acara Mengulik Digital Place, Gerakan Nasional Literasi Digital 2021 Sumatra II diselenggarakan di Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara (Sumut) pada Senin (5/7) secara virtual.
Dalam kegiatan tersebut, Ahli Search Engine Optimization (SEO), Charlie M Sianipar menyebutkan, sampai saat ini berita hoaks atau berita palsu/bohong yang paling banyak disebar ialah yang menyangkut soal isu sosial politik, kesehatan dan Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA).
“Tiga isu itu sering dipilih untuk berita hoaks karena dianggap paling mudah dan ampuh untuk memecah belah masyarakat,” ujar Sianipar pada Senin (5/7).
Ia mengatakan, berita hoaks ini biasanya bertujuan untuk mengadu domba, menyebarkan fitnah-fitnah dan mencemarkan nama baik, dan membuat cemas masyarakat.
Berita seperti ini mudah ditemukan pada media digital atau daring, seperti situs “kaleng-kaleng” yang tak kredibel, media sosial, bahkan chatting seperti WhatsApp dan Meme. Melansir dari ANTARA, berikut informasi selengkapnya.
Ciri-ciri Berita Hoaks
Sianipar menjelaskan, berita hoaks ini akan menciptakan kecemasan, kebencian dan permusuhan. Sumber beritanya pun tidak jelas dan tidak ada yang bisa dimintai tanggung jawab atau klarifikasi.
Pesan yang disampaikan bersifat sepihak, menyerang dan tidak netral, mencatut nama tokoh berpengaruh atau pakai nama mirip media terkenal, serta memanfaatkan fanatisme atas nama ideologi, agama, suara rakyat.
Berita hoaks tak jarang memakai judul dan pengantar yang provokatif dan tidak sesuai dengan isinya. Kemudian menggunakan argumen dan data yang sangat teknis supaya terlihat ilmiah dan dipercaya.
Foto-foto yang disertakan biasanya dimanipulasi dan berupa foto kejadian lama.
Perlu Literasi ke Masyarakat
Masih banyaknya berita hoaks yang bertebaran di lini masa saat ini, salah satunya akibat dari peningkatan penggunaan smartphone dan media sosial namun tak diimbangi dengan literasi digital.
Selain literasi digital, tindakan tegas dari pemerintah bagi pembuat dan penyebar hoaks juga diperlukan untuk menekan penyebaran berita hoaks ini.
“Namun juga masyarakat harus semakin cerdas untuk tidak terjebak dengan berita palsu itu bahkan ancaman terjerat hukum dengan meneruskan berita/informasi hoaks tersebut,” ujar Sianipar.
Pelanggaran UU ITE
Sianipar mengingatkan, penyebar hoaks bisa terancam pasal 28 ayat I UU ITE dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 tahun atau denda paling banyak Rp1 miliar. Sehingga masyarakat perlu berhati-hati sebelum menyebarkan berita atau informasi yang belum diketahui kebenarannya.
“Jadi pikir sebelum digulirkan agar masyarakat tidak terjerat dengan ancaman pidana UU ITE,” ujarnya.
Masyarakat bisa mengecek apakah sebuah informasi itu hoaks atau tidak dengan membuka situs TurnBackHoax. id, CekFakta.com dan Detax.org.
sumber : https://www.merdeka.com/sumut/gernas-literasi-digital-2021-di-sumut-ahli-sebut-hoaks-isu-politik-paling-banyak.html?page=4
0 Comments