Jakarta – Berkunjung ke Kampung Ilmu Surabaya adalah sarana membuang penat sekaligus bernostalgia. Melihat tumpukan buku-buku di sana rasanya sama seperti obat. Dari bentuk buku, warna, gambar ilustrasi, dan judul-judul bukunya mengandung hiburan tersendiri. Mirip obat hati yang tidak tersedia di apotek-apotek. Semacam ada proses penyembuhan yang tak disadari. Tiba-tiba senang, penuh gairah, dan semangat. Entah mengapa, kira-kira muncul secara naluriah begitu saja.


Setelah tiba sekitar pukul empat sore, mata saya langsung tertuju pada kondisi di sekitar. Ternyata sudah beda. Dulu waktu masih kuliah, Kampung Ilmu sering jadi target bermain pada akhir pekan. Tidak harus beli buku. Di sana ada warung dan beberapa penjual makanan yang bisa dinikmati. Entah makan atau sekadar ngopi sembari ditemani banyak tumpukan buku-buku.

Salah satu kondisi yang berbeda adalah joglo. Dulu tempat itu biasa dijadikan tempat berkesenian, sekarang sudah dipenuhi tumpukan barang. Saya tidak tahu barang apa yang ditumpuk di sana, karena ditutupi terpal biru. Mungkin isinya buku-buku.

Pemandangan berbeda juga terlihat pada sepinya pengunjung. Meskipun begitu, kios-kios para penjual masih tetap buka dan mereka menjajakan buku dagangannya. Tapi ketika saya berjalan di bagian belakang, ada beberapa kios yang tutup.

Saya juga menjumpai para penjual mengemas buku untuk dikirim ke pembelinya. Kata penjual di sana, kebanyakan mereka mengalihkan jualannya dengan cara online. Itu sedikit menguntungkan bagi mereka. Pasalnya sekarang banyak kampus tutup. Mahasiswa banyak yang pulang kampung halamannya. Kalau mereka hanya mengandalkan jualan offline, jualannya bisa stagnan dan sulit berkembang.

Mencari Buku Lama

Kampung Ilmu terkadang tempat saya mencari buku-buku terbitan lama, tapi masih relevan untuk dibaca. Contohnya kumpulan esai Cak Nun, Gus Dur, Romo Mangun, bahkan buku-buku fiksi lain yang terkadang di toko buku sulit dicari. Harganya tidak mahal. Bagus tidaknya bergantung keahlian kita yang mencari.

Orang yang tahu buku tentu tahu juga bagaimana cara memilih buku bagus. Ada juga bekas buku orisinal. Tidak semua buku yang dijual di sana kualitasnya buruk. Saya pernah dapat buku kumpulan esainya Cak Nun. Buku itu sampai sekarang kondisinya masih bagus dan masih sangat bisa dibaca. Jadi mengandalkan keterampilan dan ke-bejo-an.

Melihat tumpukan buku di sana itu rasanya pesimistis kalau Indonesia berada di urutan tragis tingkat literasinya. Ada satu perkuliahan kala itu, diampu oleh Prof. Setia Yuwana. Ia sempat menyatakan pendapat yang sama, mempertanyakan ukuran indikator tingkat literasi Indonesia. Sebab, ia melihat sendiri, saat ada bazar buku, banyak masyarakat di semua kalangan usia berbondong-bondong membeli.

Mereka sampai menggunakan troli untuk membawa buku-buku yang mereka beli. Mirip orang belanja kebutuhan pokok di pasar swalayan. Banyak dan bertumpuk-tumpuk. Dan tak jarang juga para orangtua mengajak anak-anak mereka yang masih kecil untuk ikut belanja buku.

Sepertinya remeh, ah masa anak tahu itu buku apa? Meski tidak tahu, tapi jangan salah, itu bentuk pengalaman bagi si anak. Kapan lagi bawa anak kecil lucu, imut, menggemaskan ke toko buku. Jarang sekali orangtua sekarang menghadirkan pengalaman untuk anak-anak mereka. Biasanya hanya sebatas bahasa verbal, disuruh banyak membaca, buku ini buku itu, tapi orangtuanya sendiri malas membaca dan enggan mengajak anak-anak mereka menghadiri acara-acara literasi.

Setidaknya orangtua bisa mencontohkan terlebih dahulu. Di samping menghadirkan pengalaman, yang lebih penting lagi menemani dalam menyusuri pengalaman itu. Mengarahkan, membimbing, dan menjelaskan. Apa anak harus paham saat itu juga tentang buku yang ia baca? Tentu tidak. Anak adalah pengingat yang baik. Memorinya jernih, suci bagai air mengalir di pegunungan. Perhatikan apa yang anak baca, lihat, dan didengar. Pelan-pelan memorinya menginstruksi saraf-saraf otaknya untuk mengingat.

Sama seperti pesan para penggiat baca pada umumnya. Banyak mengatakan dari mereka bahwa membaca itu tak perlu paham di saat yang bersamaan. Maklum, bila ada satu-dua kata atau kalimat yang kurang tahu maknanya. Kesulitan itu justru jangan jadi beban.

Anggap saja saat menemui kesulitan, kita mampu mencari makna asing itu. Motivasinya untuk menambah pengetahuan baru. Buat apa baca kalau kita dituntut hanya membaca yang kita ketahui? Itu sama seperti mengulang. Bukan menambah, tapi me-review atau sekadar mengingat-ingat kembali. Lalu muncul narasi, aku membaca, aku tahu. Tidak lagi aku bergerak, maka aku ada.

Tingkat Literasi

Benar-tidaknya ukuran penelitian itu relatif. Terutama soal tingkat literasi. Tidak selamanya benar dan tidak selamanya salah. Sifatnya berkembang, dinamis dan menyesuaikan. Urutan ke berapa pun tak jadi soal. Itu ukuran mereka, bukan ukuran kita. Jika mereka bisa membuat ukuran sendiri, seharusnya kita bisa punya ukuran masing-masing negara.

Di kampung-kampung para pemuda banyak yang bergotong royong membuat taman baca di sudut keramaian kampungnya. Tidak sedikit juga lembaga-lembaga yang suka rela turut membantu menyuplai buku-buku mereka dari berbagai macam genre. Seminggu sekali atau dua kali mereka bisa membuka lapak baca di sana. Sasarannya tentu anak-anak. Kadang orangtua mereka juga antusias ikut membaca.

Perkembangan semacam itu perlu dioptimalisasi lagi sebagai kualitas literasi bangsa ini. Anak Sekolah Dasar kebanyakan sudah mengenal buku-buku kontemporer atau lama. Contohnya Laskar Pelangi, Ronggeng Dukuh Paruk, karya-karya Tere Liye, dan penulis lainnya. Meski belum paham isinya, setidaknya mereka pernah lihat cover dan judul bukunya. Hasil penglihatan itu jadi pengingat. Tidak harus satu hari dua hari, satu bulan dua bulan, bertahun-tahun lamanya pun bisa. Namanya juga pengingat. Butuh petikan api sebagai sumbu mengingat.

Jika disamakan dengan era dulu, mengenal novel kadang harus menunggu kuliah dulu. Sekarang tidak begitu. Buku digital pun sudah ada. Tinggal download sudah bisa baca. Lewat aplikasi juga disediakan. Bahkan dari portal media-media online juga tak kalah cepat. Segala macam yang bersifat bahasa informatif, itu bisa disebut membaca. Poinnya adalah menambah pengetahuan. Riwayatnya bisa dari mana saja.

Dulu perpustakaan di sekolah-sekolah ada hanya formalitas, sebagai syarat akreditasi. Bukunya kadang tidak ditata rapi. Berserakan dan tidak digolongkan sesuai genre. Tapi sekarang kondisinya beda, sudah tersistem rapi. Buku-buku diberi nomor. Diatur sesuai tata letak jenis buku. Sehingga para siswa bisa menikmati buku dengan tenang.

Sepertinya penelitian soal literasi ini jangan selalu dari lembaga formal pemerintah. Kadang dari formal itu, sudut-sudut kecil penggerak literasi yang sembunyi-sembunyi kemungkinan kecil jarang terlihat. Bisa juga karena urusan administratif yang ribet, membuat mereka para penggiat enggan untuk diakui secara formal.

Melihat data yang dirilis Kemendikbud dalam laman website-nya, di Indonesia ada 5640 Taman Baca Masyarakat (TBM). Terbanyak ada di Jawa Timur dengan total 886 TBM. Itu yang terdaftar dan dikelola secara formal. Belum taman-taman baca lain yang ada di desa-desa. Mereka terkucilkan, sembunyi-sembunyi, dan tak terlihat. Relatif mereka masih jiwa-jiwa muda. Semangatnya terus membara. Di samping itu, mereka juga sering mengembangkan literasi dalam pola diskusi keilmuan dan proses kreativitas yang bertema.

Tapi bagaimana pun juga, mau tidak mau. Terdaftar atau tidaknya mereka dalam administratif kelembagaan, mereka tetap dihitung. Tapi pertanyaannya, apakah ada ukuran penelitian yang mampu menjangkau mereka? Pertanyaan yang tak perlu dijawab. Cukup dipikir saja. 

Baca artikel detiknews, “Literasi yang Terasingkan” selengkapnya https://news.detik.com/kolom/d-5838933/literasi-yang-terasingkan.

Download Apps Detikcom Sekarang https://apps.detik.com/detik/


0 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *