Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Maluku:
Asa Menggaungkan Literasi Pulau Rempah
Menggaungkan literasi di daerah tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dinas Perpustakaan dan Arsip Provinsi Maluku dituntut menghidupkan literasi. Sementara tantangan utama literasi di daerah itu adalah anggaran yang minim karena kemampuan fiskal yang rendah. Selanjutnya, komitmen kuat Gubernur, Kepala Bappeda, dan Kepala Dinas Perpustakaan dibutuhkan untuk mewujudkannya, terutama komitmen untuk mengalokasikan anggaran secara tepat sasaran.
_______________________________________
Ruang baca itu tampak sepi. Menjelang siang, belum ada satu pun pengunjung yang datang. Hanya dua petugas yang sibuk bermain gawai. Ruang baca itu berada di lantai dua saling berhadapan dengan ruang baca lainnya layaknya ruang kelas. Untuk menuju ke lantai dua, kami harus menaiki anak tangga yang curam. Pada dinding yang menyatu dengan anak tangga, sebuah poster besar bertuliskan motto bidang layanan terpampang. Motto tersebut adalah CEMPAKA (Cepat, Efisien, Mudah, Profesional, Aman, Kompeten, dan Adem). Selain sepi, ruang baca terlihat kusam. Jarak meja baca dengan rak buku sangat berdekatan. Meja dan kursi kayu masih rapi, hampir tidak tersentuh pengunjung.
Lailatul Ohorella, biasa dipanggil Lela, Kasubid Perencanaan Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah Maluku bertutur, sejak pandemi covid-19 Perpustakaan Provinsi Maluku sangat sepi. Bahkan, sejak awal tahun ini, pengunjung perpustakaan bisa dihitung jari. Hanya satu atau dua orang mahasiswa yang mengurus kewajiban bebas pustaka. Di ruang lainnya, beberapa komputer teronggok tidak bisa digunakan. Selain sudah termakan usia, beberapa komputer sudah lama tidak terpakai. Menurut Lela, tidak ada anggaran untuk perbaikan. Layanan peminjaman pun selama ini masih dilakukan manual. Satu jam berlalu, buku-buku belum tersentuh di rak kayu. Buku-buku tersebut terlihat kusam dan berdebu.
Terkendala sumber daya manusia
Seorang pustakawan senior Samuel Tiwery menghampiri. Semy, begitu ia dipanggil. Menurut Semy, sejak 2014 tidak ada pembelian buku di perpustakaan Maluku. Program pengolahan bahan pustaka setiap tahun hanya penataan buku-buku (reshelving). Berbeda dengan Lela yang baru bekerja beberapa bulan saja di perpustakaan, Semy sudah lama menjadi Pustakawan. Ia menjadi Pustakawan bersama dengan 18 orang lainnya. Belakangan ada penambahan tenaga Pustakawan inpassing berjumlah 5 orang sehingga jumlah Pustakawan menjadi 24 orang. Namun dari 24 Pustakawan tersebut hanya 2 orang yang berlatar belakang pendidikan pustakawan. Semy yang sudah berusia 55 tahun dan satu orang lagi adalah perempuan masih muda tetapi lulus dari jurusan ilmu perpustakaan pada 2011 silam.
Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Maluku saat ini didukung oleh lebih dari 50 orang pegawai. Tetapi jika diperhatikan, rata-rata usia pegawai perpustakaan bukan lagi berada pada masa usia produktif. Mereka juga bukan merupakan orang yang memiliki minat di bidang perpustakaan dan literasi. Kebanyakan adalah orang baru atau baru dimutasi dari instansi lain, termasuk Kepala Dinas Perpustakaan Daniel Indey, yang baru saja promosi. Bahkan, pada hari kedua kami di sana, seorang Kepala Bidang dipindah ke Sekretariat Dewan, padahal baru satu tahun berada di perpustakaan.
Dany (panggilan Daniel Indey) membenarkan hal tersebut. Menurutnya hampir semua pejabat struktural belum setahun bekerja. Bahkan dua orang Kepala Bidang Kearsipan juga masih baru. Hanya Satu Kepala Bidang Perpustakaan yang terbilang lama. “Hampir semua baru, rata-rata bukan berlatar belakang Pustakawan. Kalau Fungsional Pustawakan saat ini ada 19 orang terdiri dari 16 Pustakawan Madya dan 3 Pustakawan Muda. Kemudian ada penambahan lagi 5 orang dari inpassing. Satu orang berlatar belakang pendidikan perpustakaan, namun lulusan 2011,” ujarnya.
Anggaran minim kebutuhan maksimal
Dany juga menyayangkan anggaran kegiatan perpustakaan yang tidak terlalu besar. Terlebih saat terjadi refocusing anggaran. Pada tahun ini anggaran Dinas Perpustakaan Rp 9 miliar, sudah termasuk anggaran yang berasal dari Dana Alokasi Khusus (DAK) dan dana dekonsentrasi yang mencapai Rp 1,2 miliar. Namun dari sejumlah dana tersebut, Rp 7 miliar digunakan untuk belanja pegawai dan belanja barang dan jasa. Praktis pada 2021, hanya Rp 2 miliar untuk kegiatan perpustakaan dan arsip. Dari Rp 2 miliar tersebut hanya 20% untuk program kegiatan yang mendorong literasi.
Begitu juga anggaran pada 2020. Pagu program kegiatan perpustakaan setelah refocusing menjadi Rp 1,4 miliar. Dari Rp 1,4 miliar tersebut hanya Rp 108 juta yang bisa digunakan untuk program pengembangan dan pembinaan serta program pengembangan budaya baca. Sisanya untuk rutinitas pelayanan administrasi dan peningkatan sarana dan prasarana. Yang lebih miris lagi adalah program Bidang Kearsipan yang hanya Rp 14 juta untuk dua Kepala Seksi. Bahkan, dua Kepala Seksi lainnya Rp 0.
Pengembangan literasi menjadi masalah bagi daerah yang memiliki kapasitas fiskal yang rendah. Padahal, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) memasukkan peningkatan budaya literasi dalam program nasional revolusi mental dan kebudayaan, yang ditargetkan mendapat skor 65,70 pada 2022. Budaya literasi Maluku juga ditargetkan meningkat pada tahun ini. Bahkan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) menargetkan Indeks Kegemaran Membaca (IKM) dengan angka 71,3 dengan skala 1-100 pada 2024. Dan Indeks Pembangunan Literasi Masyarakat (IPLM) dengan skor 15,0. Data Perpusnas 2020 menunjukkan IKM Maluku memiliki nilai 52,90, dan IPLM dengan skor 17,51. Kemudian, jika melihat data Indeks Aktivitas Literasi Membaca (Alibaca) 2019, Maluku merupakan salah satu provinsi dengan dimensi kecakapan tertinggi dengan angka 80,90 setelah DKI Jakarta dan Kepulauan Riau. Ini menjadi modal, pasalnya, jika disimpulkan 90% masyarakat Maluku sudah bebas buta aksara. Sayangnya modal tersebut tidak diiringi dengan program yang mendorong hal itu.
Joice Poetiray Kepala Bidang Layanan, Pembinaan Perpustakaan dan Kegemaran Membaca, hanya bisa pasrah. Beberapa program kegiatan yang sudah disusun tidak bisa dieksekusi tahun ini. Begitu juga dengan tahun sebelumnya. Ia dan semua staf perpustakaan tidak bisa berbuat banyak. Pasalnya, anggaran perpustakaan sudah dipatok oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda). “Mau bagaimana lagi, kita tidak bisa mengajukan anggaran lebih besar, karena anggaran sudah ditetapkan. Setiap tahun sekira Rp 300 jutaan untuk kegiatan perpustakaan,” tuturnya.
Joice sudah cukup lama bekerja di Dinas Perpustakaan. Ia bingung, selama ia bekerja, Dinas Perpustakaan tidak memiliki perubahan berarti. Baik dari sumber daya manusia yang silih berganti juga anggaran yang selalu minim. Bahkan menurutnya, salah satu program hunting naskah kuno tahun ini terpaksa harus dihapus. Selain hunting naskah kuno, program perawatan gedung kantor juga tidak diakomodasi. “Saya tidak mengerti alasan Bappeda. Tidak ada penambahan berarti setiap tahun. Padahal pimpinan sudah berupaya,” keluh Joice.
Joice sempat beberapa kali datang ke DPRD untuk intervensi anggaran. Pasalnya, tidak ada pembelian buku sejak 2014. Ia hanya dijanjikan akan diberi tambahan RP 1 miliar. Namun janji itu juga tak kunjung dilaksanakan. Pematokan pagu anggaran juga dibenarkan oleh Dany. Menurut Dany, karena sudah dipatok tersebut, Perpustakaan tidak bisa memilih semua menu dalam pedoman penganggaran literasi sebagaimana Permendagri No 90 Tahun 2019. Pada Tahun ini hanya 3 program saja yang bisa dipilih. Ketiga program tersebut adalah pembinaan dan pelayanan biasa, sisanya dalam mendukung budaya gemar membaca dengan angka yang sangat kecil. Jika diperhatikan, tidak ada program yang mendukung variabel IPLM. Adapun beberapa program untuk mendukung IKM digagas oleh Perpusnas dengan menggunakan dana dekonsentrasi yang berasal dari Perpusnas dan hanya bersifat perlombaan biasa.
Menanti program inovatif
Dany menambahkan, pada tahun ini, Bappeda sedikit berbaik hati. Ada penambahan anggaran untuk program bunda literasi. Penambahan tersebut, karena Dinas Perpustakaan menunjuk istri gubernur sebagai Bunda Literasi. Beberapa hari lalu (27/4), Istri Gubernur Maluku Widya Pratiwi Murad Ismail dikukuhkan sebagai Bunda Literasi Provinsi Maluku, langsung oleh Kepala Perpustakaan Nasional RI, Muhammad Syarif Bando. Widya mengaku, jabatan barunya sebagai Bunda Literasi di Provinsi Maluku, merupakan tanggung jawab besar. Sebagai Bunda literasi, dirinya diharapkan menjadi suri tauladan yang menginspirasi tumbuhnya kegemaran membaca masyarakat Maluku termasuk para generasi muda. Dia berharap, dirinya bisa melakukan hal terbaik saat menjalankan tugasnya sebagai Bunda Literasi Maluku, agar generasi muda di Maluku menjadi generasi muda yang suka membaca, menulis, berinovasi dan kreatif.
“Ini menjadi tanggung jawab sekaligus amanah yang harus saya lakukan ke depan. Bagaimana caranya, minat baca untuk anak-anak di Maluku adalah tanggung jawab saya dan masyarakat Maluku. Mudah-mudahan, presentase 52,90 persen di tahun lalu, tahun ini dan seterusnya, Insya Allah meningkat lebih baik,” ujarnya.
Penunjukkan istri gubernur bukan tanpa sebab, penunjukkan Widya sebagai Bunda Literasi sebenarnya adalah salah satu strategi Dinas Perpustakaan agar bisa diperhatikan oleh pemerintah. Terutama strategi terkait penambahan anggaran oleh Bappeda. Bunda Literasi diharapkan dapat menaikkan indeks kegemaran membaca masyarakat yang digagas Perpusnas. Perpusnas mendorong setiap pemerintah daerah menunjuk seorang perempuan untuk menjadi duta literasi. Sebagai Kepala Dinas yang baru setahun menjabat di Dinas Perpustakaan dan Arsip, Dany sebenarnya memiliki segudang ide untuk mengembangkan perpustakaan.
Salah satu ide yang diagagasnya adalah program cafe literasi. Cafe literasi adalah semacam warung kopi yang menyajikan menu-menu bahan bacaan yang disebut camilan pustaka. Cafe tersebut rencananya akan ditempatkan di samping gedung perpustakaan daerah. Setiap pengunjung nantinya bisa menikmati santapan menu makanan dalam cafe tersebut sembari membaca buku. Adapun beberapa produk makanan dan minuman yang dijual dalam cafe tersebut merupakan produk olahan Usaha Kecil Menengan (UKM) Provinsi Maluku. Selain cafe literasi, Dany juga berencana membangun program walang (sejenis gubuk) literasi. Harapannya gubuk tersebut diminati anak-anak untuk membaca. Namun, sebagus apa pun program tersebut, tetap tidak bisa dieksekusi. Selain terbatasnya anggaran juga terbatasnya kualitas sumber daya manusia yang mendukung hal tersebut. “Semoga bisa dilaksanakan tahun depan. Karena ini sangat menarik,” harap Dany.
Ditemui di ruangannya, di Kantor Bappeda Provinsi Maluku Kepala Bidang Pengembangan Manusia dan Masyarakat Lebertty Lewerissa menyangkal jika anggaran untuk Dinas Perpustakaan sudah benar-benar dipatok. Menurutnya anggaran disesuaikan dengan program prioritas pemerintah. Ia juga tidak menutup kemungkinan untuk menambah anggaran, jika program yang diajukan inovatif dan masuk akal. “Kalau ada program yang bagus kenapa tidak kita dorong. Misalnya, kita juga mendorong program Bunda Literasi, kita tambahkan anggaran,” kata pria yang disapa Berty tersebut.
Menurut Berty, program perpustakaan yang diajukan kadang kala hanya rutinitas dan tidak kreatif. Perpustakaan juga tidak mampu meyakinkan pimpinan untuk setiap program kegiatan yang digagas. Selain itu, Berty juga mengakui, jika APBD Maluku sangat minim. Total APBD Maluku untuk 2021 adalah Rp 1,5 triliun. Dari jumlah tersebut 20% dialokasikan untuk pendidikan, dan 10% untuk kesehatan. Sisanya hanya sekira Rp 500 miliar yang harus dibagi kepada 54 Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang ada di Provinsi Maluku.
Perpustakaan belum prioritas
Minimnya anggaran perpustakaan selama ini cukup wajar. Pasalnya, perpustakaan belum dianggap penting. Hal itu terlihat dari Dinas Perpustakaan dan Arsip bukan bagian dari OPD yang bertanggung jawab dalam menerjemahkan 8 program unggulan Gubernur Maluku yang tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Padahal, salah satu program unggulan gubernur adalah pembangunan manusia dan kebudayaan. Sementara, hampir semua OPD menjadi leading sector pengejawantahan janji kampanye tersebut. Implikasinya, semua anggaran terfokus pada beberapa OPD yang menjadi penanggung jawab 8 program unggulan tersebut. Sementara OPD yang tidak termasuk hanya menerima sisanya. Akibatnya program kegiatan tahunan adalah kegiatan rutinitas belaka.
Sementara itu, penganggaran di Bappeda sejauh ini belum melihat prioritas masalah. Hal itu terbukti belum ada prioritas untuk menangani hal tersebut secara serius. Misalnya, RPJMD Provinsi Maluku 2019-2024 menyatakan 6 poin permasalahan pembangunan daerah terkait perpustakaan. Keenam hal itu di antaranya: a) Terbatasnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia pengelola perpustakaan; b) Rendahnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya perpustakaan bagi pengembangan kualitas bangsa; c) Pengelolaan perpustakaan yang belum profesional; d) Terbatasnya sarana dan prasarana perpustakaan; e) Terbatasnya koleksi bahan bacaan yang tersedia di perpustakaan, dan; f) Menurunnya tingkat kunjungan masyarakat ke perpustakaan.
Berty mengklaim penanganan permasalahan tersebut sudah dilakukan. Misalnya, untuk mengatasi SDM dilakukan dengan pengadaan fungsional, dan program lainnya. Tetapi itu tidak cukup signifikan mengatasi permasalahan. Sebagai contoh, perpustakaan masih memiliki keterbatasan dari sarana prasarana. Ruang perpustakaan tidak dibuat senyaman mungkin. Beberapa ruang seperti ruang anak dan referensi sangat gelap dan berdebu. Begitu juga dengan ruang pemeliharaan bahan pustaka yang hanya mengoleksi bundelan koran lokal harian, yang terlihat menumpuk di atas lemari dan sebagian sudah usang dan berdebu. Perpustakaan memiliki beberapa peralatan komputer, tetapi tidak bisa digunakan. Ada pun perpustakaan hanya memiliki 2 laptop yang digunakan pegawai bergantian.
Terkait penggunaan teknologi, Perpustakaan Maluku sedikit menggembirakan. Perpustakaan sudah dilengkapi layanan membaca daring melalui aplikasi iMaluku. Namun masih banyak pegawai perpustakaan yang belum mengetahui penggunaan aplikasi yang bisa diunduh pada gawai pintar tersebut. Perpustakaan juga sudah menggunakan aplikasi seperti inlislite. Namun, inlislite juga tidak bisa digunakan, sehingga proses pendataan atau pun peminjaman buku di perpustakaan masih dilakukan secara manual (tulis tangan). Perpustakaan juga tidak bisa berbuat banyak untuk memperbaiki inlislite. Pasalnya harus mendatangkan orang dari Perpusnas di Jakarta.
Sengketa di lahan kering
Penggunaan teknologi informasi yang canggih dalam pengelolaan e-library masih jauh panggang dari api. Bagaimana berpikir pengembangan teknologi, gedung perpustakaan yang sekaligus menjadi Kantor Dinas Perpustakaan dan Arsip saat ini, ternyata juga masih bermasalah. Lahan yang digunakan perpustakaan adalah milik swasta. Hal tersebut menjadi salah satu alasan Bappeda, pemerintah belum bisa membangun infrastruktur perpustakaan. Lahan perpustakaan saat ini dianggap masih bersengketa. Pihak swasta mengklaim lahan tersebut adalah miliknya. Menurut Joice, pernah suatu hari mereka diminta mengosongkan kantor. “Bagaimana kita mau nyaman bekerja kalau begini,” ucap Joice.
Joice menambahkan, pihak pengguggat juga bersedia membayar ganti rugi dan menyediakan lahan pengganti. Namun menurut beberapa pegawai, belum ada kesepakatan harga tukar guling (ruislag) dengan pihak penggugat tersebut. Selain itu, lahan yang disediakan pihak penggugat juga bermasalah, karena menyerobot lahan masyarakat. Sampai saat ini, tarik menarik antara pemerintah dan swasta terkait kepemilikan gedung masih terjadi di pengadilan.
Pengembangan perpustakaan di Maluku juga agaknya sedikit terkendala. Selain beberapa permasalahan di atas, perpustakaan belum memiliki target pemustaka yang jelas. Salah satu contohnya adalah program penyediaan buku yang tidak memerhatikan target pembaca. Selama ini pengadaan e-book untuk aplikasi lebih banyak buku-buku sekolah dan bahan ajar. Padahal, buku-buku tersebut sudah tersedia di sekolah-sekolah.
Karena tidak memiliki target tersebut, program pengadaan buku terkesan serampangan. Kesimpangsiuran juga terjadi terkait penganggaran pembelian buku. Beberapa pegawai mengatakan tidak ada pembelian buku sejak 2014, tetapi dalam dokumen anggaran menyebutkan ada pembelian buku pada 2020 mencapai Rp 150 juta dengan realisasi sebesar 96,69%. Beberapa pegawai menyebutkan alokasi tersebut untuk pembelian e-book dalam aplikasi iMaluku, tetapi sebagian mengatakan untuk pembelian buku anak-anak. Hal ini berimplikasi pada penggunaan dana yang tidak efektif. Begitu juga dengan penggunaan anggaran yang besar jika hanya untuk pembelian buku. Padahal, dengan anggaran Rp 150 juta tersebut bisa digunakan tidak hanya untuk membeli buku fisik yang jauh lebih banyak, tetapi juga untuk program kegiatan prioritas.
Seperti yang disayangkan oleh Nita Handayani Hasan Peneliti Muda Kantor Bahasa Provinsi Maluku. Hasil surveynya terhadap Perpustakaan menyimpulkan, minimnya bahan bacaan yang berasal dari Maluku. Padahal, masyarakat Maluku membutuhkan bahan bacaan yang terkait dengan kebudayaan Maluku. Buku-buku tersebut adalah kebutuhan tenaga pendidik. Pasalnya, saat ini mereka sering menggunakan buku-buku umum dalam proses belajar-mengajar. Buku-buku umum tersebut biasanya berisi informasi-informasi yang menggambarkan keadaan daerah lain. Sementara bahan bacaan yang dibutuhkan dapat berupa artikel-artikel popular yang berisi kebudayaan, adat-istiadat, bahasa, makanan khas, upacara adat, cerita-cerita rakyat, kamus-kamus bahasa daerah, dan lain sebagainya sangat minim, bahkan bisa dikatakan tidak ada.
“Koleksi buku-buku nasional mendominasi koleksi buku yang ada. Jumlah koleksi buku-buku tentang Maluku sangat minim. Perpustakaan daerah memang memiliki satu ruangan khusus yang berisi koleksi buku-buku dari Maluku. Namun jumlah koleksi buku-buku tersebut tidak bertambah dari tahun ke tahun,” terangnya.
Untuk mengatasi pelbagai persoalan di atas, peningkatan literasi di daerah perlu didukung oleh anggaran yang kuat. Program penganggaran perpustakaan harus memerhatikan program nasional untuk mendukung literasi. Utamanya terkait peningkatan Indeks Kegemaran Membaca dan Indeks Pembangunan Literasi. Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah harus berusaha meyakinkan pimpinan dengan berbagai program inovatif yang digagas. Perpustakaan seyogyanya memiliki target dan sasaran pemustaka yang jelas. Dengan begitu bisa menentukan program penganggaran yang terarah.
Di sisi lain, pendekatan inovatif adalah sebuah keniscayaan. Selain itu, beberapa program kegiatan yang digagas harus pada prioritas yang mendukung target pemerintah. Pendekatan inovatif ini tentu saja perlu didukung oleh komitmen kuat Gubernur, Kepala Bappeda, dan Kepala Dinas Perpustakaan untuk mewujudkannya, termasuk di dalamnya komitmen untuk mengalokasikan anggaran secara tepat sasaran (fokus sesuai kebutuhan). Sehingga motto perpustakaan CEMPAKA (Cepat, Efisien, Mudah, Profesional, Aman, Kompeten, dan Adem) terejawantah dalam pekerjaan harian. Motto tersebut tidak sekadar tulisan belaka yang semakin pudar dimakan zaman.
0 Comments