Text
Wanita dalam pembinaan karakter bangsa
Perempuan adalah tokoh utama dalam membina karakter bangsa. Lalu, bagaimana peran yang harus dimainkannya? Seorang lelaki besar biasanya memiliki wanita hebat di sampingnya. Ungkapan tersebut mewakili peran wanita dalam mendukung kesuksesan seseorang. Sebab, wanita yang tangguh mampu melahirkan generasi yang tangguh pula. Mereka yang paling berperan dalam membentuk karakter dan mental generasi muda. Sosok-sosok itulah yang akan menggantikan orang-orang tua dalam memimpin bangsa ini. Maka dari itu, merupakan hal yang penting untuk menumbuhkan kesadaran para wanita bahwa mereka memegang kunci emas dalam memajukan kehidupan suatu bangsa. Kesadaran tentang pentingnya peran wanita dalam pembentukan karakter membuat Prof. Dr. Husein Haikal, MA menulis buku yang berjudul “Wanita dalam Pembinaan Karakter Bangsa”. Buku setebal 206 halaman ini berisi penjabaran tentang peran wanita sebagai kader pembentuk karakter. Di sini, Prof. Husein memberikan banyak informasi tentang wanita-wanita hebat yang sukses membuat perubahan. Melalui bukunya, penulis seolah ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa perempuan mempunyai peran yang sangat kompleks dalam sebuah keluarga. Seiring perkembangan zaman, paradigma tentang konsep kewanitaan semakin bergeser. Peran wanita sebagai pendamping suami kini semakin melebar. Tidak hanya mendampingi, wanita masa kini bebas beraktivitas di luar tanpa harus mengekor di belakang lelaki. Tapi, pada hakikatnya tetap wanita adalah pendamping. Tidak pernah seorang wanita disebut pemimpin atau kepala keluarga. Secara etimologis, kata perempuan berasal dari kata empu yang berarti pusat atau orang yang mahir. Kata perempuan juga berhubungan dengan kata ampu yang bermakna dukung atau memerintah. Namun dalam penggunaannya di masyarakat, kata wanita justru dianggap memiliki makna yang lebih terhormat. Kata wanita dinilai kurang karena berhubungan dengan kata betina yang memiliki makna negatif jika digunakan pada manusia. Betina berasal dari kata batina dalam bahasa Kawi yang mengalami metatesis, yaitu perubahan letak huruf, bunyi, atau suku kata. Konsep kewanitaan ini disampaikan penulis dalam bab kedua. Penulis menyampaikan tentang konsep penggunaan kata ‘wanita’ dan ‘perempuan’ yang memiliki perbedaan makna. Jika kata wanita diidentikkan dengan pendamping atau pelayan laki-laki, kata perempuan memiliki kedudukan yang lebih tinggi. Perempuan identik dengan kemandirian. Bab ketiga buku ini mengulas tentang peran perempuan di ruang publik dan keluarga. Dalam upaya membangun karakter bangsa, seorang ibu harus bisa mendidik dan membangun karakter anaknya agar siap menjadi pewaris negara. Sebab, pembentukan karakter seseorang dimulai sejak dalam kandungan. Dalam melahirkan anak-anak yang siap menjadi pewaris negara, seorang ibu harus terlebih dahulu memahami peran yang dimainkannya. Keluarga adalah lingkup terkecil dalam usaha membina karakter bangsa. Di sinilah peran perempuan sangat dibutuhkan. Ibu adalah orang terdekat yang mampu mendidik anak sesuai keinginannya. Jika seorang anak diberi pemahaman tentang ilmu agama, maka ia akan menjadi sosok yang agamis. Begitu juga dengan anak yang selalu diberi pemahaman kebangsaan, maka ia akan menjadi sosok yang nasionalis. Dalam bab ini, Prof. Husein menampilkan sosok perempuan yang menurutnya patut dijadikan contoh melalui pengisahan sejarah tokoh perempuan di seluruh dunia. Penulis mengisahkan hidup Ann Dunham, ibu kandung Barack Obama, dalam mendidik Obama hingga menjadi tokoh yang disegani. Ia juga menulis tentang perjuangan perempuan di Indonesia dalam pergerakan kemerdekaan, misalnya Kartini dan Cut Nya’ Dien. Para perempuan itu adalah mereka yang menyadari perannya sebagai seorang wanita. Mereka tidak mau tunduk pada kebiasaan lama. Hal ini berkaitan dengan aliran feminisme, yaitu suatu gerakan emansipasi wanita yang dimunculkan oleh Marry Wallstenocraff. Meskipun aliran ini secara resmi pada tahun 1970an, konsep feminisme sudah ada di Indonesia sejak zaman penjajahan. Penulis tidak hanya menyoroti wanita yang populer karena perjuangannya. Ia juga menampilkan sosok seniman wanita yang cukup berpengaruh, seperti Siti Nurhalizah, Titiek Puspa, dan Lilis Suryani. Menurutnya, seniman perempuan memiliki peran dalam pembentukan karakter bangsa. Sebab, seperti yang diungkapkan oleh Hamengku Buwono IX, kemerosotan berbangsa Indonesia bisa jadi disebabkan oleh elit politik tidak tumbuh dalam tradisi berkesenian. Padahal pendidikan kesenian dapat melatih kritis mata terhadap dunia visualnya, serta melatih individu untuk menyadari berbagai segi dalam ruang kehidupan (hlm. 56). Melalui contoh tokoh perempuan tersebut, Prof. Husein seolah ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa perempuan juga harus mampu terlibat dalam perkembangan dunia. Pada intinya, peran perempuan sebagai kader pembentuk karakter tidak terbatas pada lingkup rumah tangga. Namun, memberikan inspirasi seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh tersebut juga merupakan salah satu cara untuk membentuk karakter suatu bangsa. Buku ini memiliki nilai positif dalam memberikan data-data tentang perjuangan tokoh wanita. Di samping itu, penulis juga banyak mengutip fakta yang disampaikan para tokoh berpengaruh sehingga menguatkan materi yang disampaikan. Namun, materi yang dituliskan dalam tiap bab kurang berkorelasi, sehingga membuat alur penulisan menjadi tidak fokus. Bahasan yang disajikan juga terkesan berbelit-belit. Hal ini membuat pembaca sulit memahami inti dari tiap bab. Secara keseluruhan buku Prof. Husein menyajikan informasi yang cukup bagus bagi wanita zaman ini. Sebagai sumber inspirasi untuk lebih memaknai peran dan tanggung jawabnya. Tidak hanya bagi ibu atau wanita, kaum Adam juga dianjurkan untuk membaca buku ini agar lebih paham tentang peran wanita dalam membentuk karakter seseorang. Sehingga, diskriminasi terhadap kaum Hawa dapat dihilangkan. [Anisa Lailatul Fitria]
Tersedia | SJN00004202 | 305.4 HUS h | Perpustakaan Amir Machmud |
Tidak tersedia versi lain