Di era digital ini, para pengamat terorisme sepakat media sosial menjadi saran paling efektif untuk menyebarkan propaganda dan merekrut anggota terorisme. Melalui beragam aplikasi media sosial berbasis online, pengguna internet di Indonesia memiliki ruang dan peluang tak terbatas untuk mengakses informasi.

Hal ini kemudian dimanfaatkan kelompok radikal sebagai wahana penyebarluasan pesan-pesan yang mengandung propaganda radikal terorisme. Terlebih di era pandemi ini.

Tentunya ini warning bagi Indonesia, mengingat pertumbuhan pengguna internet di Indonesia sangat subur, mencapai 202 juta jiwa pengguna internet. Ya, jika tidak diiringi pemahaman digital yang baik, ini akan menjadi sumbu keretakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Pada Juli 2021, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Boy Rafli Amar menungkapkan aktivitas terorisme di masa pandemi Covid-19 semakin meningkat melalui internet. BNPT menilai kelompok teroris memaksimalkan aktivitas propaganda, rekrutmen bahkan pendanaan secara daring, di tengah dunia sedang sibuk mengurusi Covid-19.

Munculnya Zakiah Aini, sebagai lone wolf terrorist pada Maret lalu, mengindikasikan fakta masifnya propaganda terorisme di sosial media. Dengan mudahnya wanita muda berusia 25 tahun ini terkena self-radicalization. Zakiah secara aktif mencari konten-konten radikal terorisme di dunia maya.

Self-radicalization merupakan sebuah fenomena radikalisasi yang semakin meningkat terjadi di era digital. Fenomena ini terjadi karena terpaan internet yang semakin memudahkan individu untuk bersentuhan dan mendalami konten-konten radikal di dunia maya.

Karena itu, negara tidak boleh ‘kecolongan’ lagi, harus segera diantisipasi. Tidak hanya melalui sistem keamanan siber, melainkan adanya penetrasi digital dalam penanggulangan terorisme.

BNPT sebagai leading sector dalam penanggulangan terorisme, perlu mengembangkan pendekatan soft approach dalam mencegah aksi terorisme di Indonesia. Salah satunya dengan, mengembangkan konsep literasi digital dalam penerapan deradikalisasi.

Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018, deradikalisasi didefinisikan merupakan suatu proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019, deradikalisasi dilakukan kepada, tersangka, terdakwa, terpidana, dan narapidana tindak pidana terorisme. Dan kepada mantan narapidana terorisme orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme.

Merujuk pada Peraturan Pemerintah tersebut, proses deradikalisasi yang dilakukan BNPT di masyarakat, terdapat tiga bentuk pembinaan yakni pembinaan wawasan kebangsaan, pembinaan wawasan keagamaan dan kewirausahaan. Dalam pembinaan tersebut, dapat dilakukan intervensi literasi digital guna memaksimalkan ‘vaksin’ untuk membangun herd imunity terhadap virus radikal terorisme.

Literasi digital merupakan pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat, dan patuh hukum dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari.

Melalui adanya intervensi literasi digital dalam pembinaan wawasan kebangsaan, wawasan keagamaan dan kewirausahaan, diharapkan menjadi faktor yang dapat mendorong para sasaran deradikalisasi di luar lapas dalam menghilangkan, mengurangi, dan membalikkan pemahaman radikal-terorisme dan mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi.

Harapannya, para sasaran deradikalisasi dapat maksimalkan teknologi digital dalam proses reintegrasi sosial. Dalam kaitannya dengan pembinaan nilai-nilai kebangsaan di era digital adalah dengan mengembangkan, menggunakan, membuat dan memanfaatkan teknologi media digital dalam menumbuhkan nilai nilai nasionalisme dalam berkomunikasi dan berinteraksi sehari-hari.

Pemahaman nilai-nilai nasionalisme perlu digaungkan di dunia digital untuk menjaga kedamaian, persatuan dan kesatuan antar anak bangsa, guna terwujudnya nilai nilai Pancasila dalam berkehidupan sehari hari. Sehingga sasaran deradikalisasi mampu membentengi diri dari hoaks, dan narasi provokatif yang dapat memecah belah persatuan bangsa.

Dalam pembinaan keagamaan, literasi digital juga berperan penting untuk membangun karakter sasaran deradikalisasi yang tidak mudah terprovokasi dengan isu isu agama. Moderasi agama perlu didengungkan dengan pendekatan dan pemanfaatan teknologi komunikasi. Harapannya para sasaran deradikalisasi mampu memaksimalkan medium digital untuk bermuamalah dan menebar pesan kebaikan dalam interaksinya di media sosial.

Sedangkan penguatan pembinaan kewirausahaan dapat dilakukan dengan mengedepankan teknologi digital sebagai akselerasi kemandirian dan usaha para sasaran deradikalisasi. Seperti halnya pembinaan atau pelatihan di bidang digital marketing, Search Engine Optimization (SEO), atau bisnis online di market placeguna menunjang aktivitas atau kemandirian para sasaran deradikalisasi.

Namun perlu diketahui, proses deradikalisasi bukanlah proses yang mudah dan cepat. Dibutuhkan pembinaan secara terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan.

Direktur Deradikalisasi BNPT, Prof. Dr. Irfan Idris, M.A dalam beberapa kesempatan mengungkapkan, bahwa keberhasilan deradikalisasi tidak bisa dilakukan oleh BNPT sendiri, melainkan butuh kolaborasi dan kontribusi dari berbagai pihak, mulai dari kementerian/lembaga terkait, akademisi, praktisi, tokoh agama dan tokoh masyarakat guna menurunkan tingkat radikalisme seseorang.

Untuk itu, kita harus mengambil peran, turut menciptakan ruang digital positif guna mendukung proses deradikalisasi dan menjaga kerukunan bangsa. Dengan peran aktif berbagai lini, diharapkan para sasaran deradikalisasi tidak gagap digital, sehingga dapat beradaptasi dengan masyarakat dan memiliki ‘imun’ yang tangguh agar tidak kembali terjerumus ke dalam paham ataupun kelompok radikal teorisme yang marak di era distrupsi teknologi ini.

*) Farabi Ferdiansah adalah mantan jurnalis mendalami isu-isu Timur Tengah, pernah bertugas melakukan liputan khusus di Perbatasan Turki-Suriah, Yordania, Israel dan Palestina. Beragam penghargaan dan beasiswa jurnalistik pernah ia raih, di antaranya beasiswa di Amerika, Filipina dan Thailand. Saat ini, Farabi aktif di komunitas Mata Media, komunitas pegiat literasi digital.


0 Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *